Langsung ke konten utama

Makalah "Pernikahan"



PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BAB 5
PERNIKAHAN










Oleh :

Dinda Oktaviantri
Ika Rahayu
Septyana Sritanti
Nimas Titissari


UPTD SMA NEGERI 3 NGANJUK
2016/2017
1.      Pengertian
Munakahat berarti pernikahan atau perkawinan. Menurut bahasa Indonesia, kata nikah berarti berkumpul atau bersatu. Dalam istilah syariat, nikah itu berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menghasilkan hubungan kelamin antara keduanya dengan suka rela dan persetujuan bersama, demi terwujudnya keluarga (rumah tangga) bahagia, yang di ridai oleh Allah SWT.
     
2.      Hukum Nikah
1.      Sunah : Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan mampu pula mengendalikan diri dari perzinaan, walaupun tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah sunah.
2.      Wajib : Bagi orang yang ingin menikah, mampu menikah, dan ia khawatir berbuat zina jika tidak segera menikah, maka hukum nikah adalah wajib.
3.      Makruh : Bagi orang yang ingin menikah, tetapi belum mampu member nafkah terhadap istri dan anak-anaknya, maka hukum nikah adalah makruh.
4.      Haram : Bagi orang yang bermaksud menyakiti wanita yang akan ia nikahi, maka hukum nikah adalah haram.

3.      Tujuan Pernikahan
1.      Memenuhi hajat manusia (pria terhadap wanita atau sebaliknya) dalam rangka mewujudkan rumah tangga yang bahagia
2.      Untuk memperoleh rasa cinta dan kasih sayang.
3.      Untuk memperoleh ketenangan hidup (sakinah).
4.      Untuk mewujudkan keluarga bahagia di dunia dan akhirat.
    
4.      Rukun Nikah
1.      Ada calon suami, dengan syarat: laki-laki yang sudah berusia dewasa (19 tahun), beragama Islam, tidak dipaksa/terpaksa, tidak sedang dalam ihram haji atau umrah, dan bukan mahram calon istrinya.
2.      Ada calon istri, dengan syarat: wanita yang sudah cukup umur (16 tahun): bukan perempuan musyrik, tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, bukan mahram bagi calon suami dan tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.
3.      Ada wali nikah, yaitu orang yang menikahkan mempelai laki-laki dengan mempelai wanita atau mengizinkan pernikahannya.
a.       Wali Nasab, yaitu wali yang mempunyai pertalian darah dengan mempelai wanita yang akan dinikahkan.
b.      Wakil Hakim, yaitu kepala negara yang beragama Islam.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali nikah adalah sebagai berikut:
a.       Beragama Islam.
b.      Laki-laki.
c.       Balig dan berakal.
d.      Merdeka dan bukan hamba sahaya.
e.       Bersifat adil.
f.       Tidak sedang ihram haji atau umrah.
4.      Ada dua orang saksi.
5.      Ada akad nikah yakni ucapan ijab kabul. Ijab adalah  ucapan wali (dari pihak mempelai wanita), sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Qabal adalah ucapan mempelai laki-laki sebagai tanda penerimaan. Suami wajib memberikan mas kawin (mahar) kepada istrinya, tetapi mengucapkannya dalam akad nikah hukumnya sunnah. Suruhan untuk memberikan mas kawin terdapat dalam Al-Qur’an yang artinya“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan…” (Q.S. An-Nisa’, 4: 4)
   
5.      Muhrim
Menurut pengertian bahasa, muhrim berarti yang diharamkan. Dalam ilmu fikih, muhrim adalah wanita yang haram dinikahi. Adapun penyebab seorang wanita haram dinikahi ada empat macam, yaitu sebagai berikut: 
1.      Wanita yang haram dinikahi karena keturunan:
a.       Ibu kandung dan seterusnya ke atas (nenek dari ibu dan nenek dari ayah).
b.      Anak perempuan kandung dan seterusnya ke bawah (cucu dan seterusnya). 
c.       Saudara perempuan (sekandung, sebapak atau seibu).
d.      Saudara perempuan dari bapak.
e.       Saudara perempuan dari ibu. 
f.       Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya ke bawah.
g.      Anak perempuan dari saudara perempuan dan seterusnya ke bawah
2.      Wanita yang haram dinikahi karena hubungan sesusuan:
a.       Ibu yang menyusui.
b.      Saudara perempuan sesusuan. 
3.      Wanita yang haram dinikahi karena perkawinan:
a.       Ibu dari istri (mertua).
b.      Anak tiri (anak dari istri dengan suami lain), apabila suami telah berkumpul dengan ibunya.
c.       Ibu tiri (istri dari ayah), baik sudah dicerai atau belum.
d.      Menantu (istri dari anak laki-laki), baik sudah dicerai maupun belum.
e.        Wanita yang haram dinikahi karena pertalian muhrim dengan istri. Misalnya, haram melakukan poligami (memperistri sekaligus) terhadap dua orang bersaudara, terhadap seorang perempuan dengan bibinya, terhadap seorang perempuan dengan kemenakannya.

6.      Kewajiban Suami dan Istri
a.       Kewajiban Suami
1.      Memberi nafkah, sandang, pangan, dan tempat tinggal kepada istri dan anak-anaknya, sesuai dengan kemampuan yang diusahakan secara maksimal.
2.      Memimpin serta membimbing istri dan anak-anak, agar menjadi orang yang berguna, keluarga, agama, masyarakat, serta bangsa dan negaranya.
3.      Bergaul dengan istri dan anak-anak dengan baik (makruf).
4.      Membantu istri dalam tugas sehari-hari, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak-anak agar menjadi anak saleh.
b.      Kewajiban Istri
1.      Taat kepada suami dalam batas-batas yang sesuai dengan ajaran Islam.
2.      Memelihara diri serta kehormatan dan harta benda suami, baik di hadapan atau di belakangnya.
3.      Membantu suami dalam memimpin kesejahteraan dan keselamatan keluarga.
4.      Menerima dan menghormati pemberian suami walaupun sedikit, serta mencukupkan nafkah yang diberikan suami, sesuai dengan kekuatan dan kemampuannya, hemat, cermat, dan bijaksana.
5.      Hormat dan sopan kepada suami dan keluarganya
6.      Memelihara, mengasuh, dan mendidik anak agar menjadi anak yang saleh. 

7.      Perceraian
Perceraian berarti pemutusan ikatan perkawinan antara suami dan istri. Sebab terjadi perceraian adalah perselisihan atau pertengkaran suami-istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, walaupun sudah didatangkan hakim (juru damai) dari pihak suami dan pihak istri. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap wanita (istri) yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan, haramlah baginya wangi-wangi surga.” (H.R. Ashabus Sunan kecuali An-Nasa’i)
Hal-hal yang dapat memutuskan ikatan perkawinan adalah meninggalnya salah satu pihak suami atau istri, talak, fasakh, khulu’li’anila’, dan zihar. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a.      Talak
Talak berarti melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan secara suka rela ucapan talak dari pihak suami kepada istrinya. Talak dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1.      Talak Raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya untuk pertama kalinya, dan suami boleh rujuk (kembali) kepada istri yang telah ditalaknya selama masih dalam masa ‘iddah.
2.      Talak Ba’i n, yaitu talak yang suami tidak boleh rujuk (kembali) kepada istri yang ditalaknya itu, melainkan mesti dengan akad nikah baru.
Selesai akad nikah biasanya mengucapkan ta’lik talak, yaitu talak yang digantungkan dengan sesuatu (syarat atau perjanjian). Misalnya, suami berkata kepada istrinya, “bila selama 3 bulan berturut-turut saya tidak memberi nafkah kepada engkau, berarti saya telah mentalak engkau.” Ta’lik talak hukumnya sah dan dibenarkan syara’.
b.      Fasakh
Fasakh adalah pembatalan pernikahan antara suami-istri karena sebab-sebab tertentu. Fasakh dilakukan oleh hakim agama, karena adanya pengaduan dari istri atau suami dengan alasan yang dapat dibenarkan.
Akibat perceraian dengan fasakh, suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya. Berbeda dengan khulu’, fasakh tidak memengaruhi bilangan talak. Artinya, walaupun fasakh dilakukan lebih dari tiga kali, bekas suami-istri itu boleh menikah kembali, tanpa bekas istrinya harus menikah dulu dengan laki-laki lain.
c.       Khulu’
Menurut istilah bahasa, khulu’ berarti tanggal. Dalam ilmu fikih, khulu’ adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri, baik dengan jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan memberikan sejumlah uang (harta) yang disetujui oleh mereka berdua. Khulu’ diperkenankan dalam Islam, dengan maksud untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi istri.
Akibat perceraian dengan cara khulu’, suami tidak dapat rujuk, walaupun bekas istrinya masih dalam masa ‘iddah. Berbeda dengan fasakhkhulu’ dapat memengaruhi bilangan talak. Artinya, kalau sudah tiga kali dianggap tiga kali talak (talak ba’in kubra), sehingga suami tidak boleh menikah lagi dengan bekas istrinya, sebelum bekas istrinya itu menikah dulu dengan laki-laki lain, bercerai, dan habis masa ‘iddah-nya.
d.      Li’an
Li’an adalah sumpah suami yang menuduh istrinya berzina (karena suami tidak dapat mengajukan 4 orang saksi yang melihat istrinya berzina). Dengan mengangkat sumpah 4 kali di depan hakim, dan pada ucapan kelima kalinya dia mengatakan, “Laknat (kutukan) Allah akan ditimpakan atas diriku, apabila tuduhanku itu dusta.”
Apabila suami sudah menjatuhkan li’an, berlakulah hukum rajam terhadap istrinya, yaitu dilempari dengan batu yang sedang sampai mati. Ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang li’an ini terdapat dalam Surah An-Nur, 24: 6-10.
e.       Ila’
Ila’ berarti sumpah suami yang mengatakan bahwa ia tidak akan meniduri istrinya selama 4 bulan atau lebih, atau dalam masa yang tidak ditentukan. Jika sebelum 4 bulan dia kembali kepada istrinya dengan baik, maka dia diwajibkan membayar denda sumpah (kafarat).
Akan tetapi, jika sampai 4 bulan ia tidak kembali pada istrinya, maka hakim berhak menyuruhnya untuk memilih di antara dua hal, kembali kepada istrinya dengan membayar kafarat sumpah atau mentalak istrinya. Apabila suami tidak bersedia menentukan dengan pilihannya, maka hakim memutuskan bahwa suami telah mentalak istrinya dengan talak ba’in sugra, sehingga ia tidak dapat rujuk lagi.
f.       Zihar
Zihar adalah ucapan suami yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, seperti suami berkata kepada istrinya, “Punggungmu sama dengan punggung ibuku.” Jika suami mengucapkan kata-kata tersebut, dan tidak melanjutkannya dengan mentalak istrinya, wajib baginya membayar kafarat, dan haram meniduri istrinya sebelum kafarat dibayar.
g.      ‘Iddah
‘Iddah berarti masa menunggu bagi istri yang ditinggal mati atau bercerai dengan suaminya untuk dibolehkan menikah kembali dengan laki-laki lain. Tujuan ‘iddah adalah untuk melihat perkembangan, apakah istri yang bercerai itu hamil atau tidak.
Lama masa ‘iddah adalah sebagai berikut:
1.      Iddah karena suami wafat
a.      Bagi istri yang tidak hamil, baik sudah campur dengan suaminya yang wafat atau belum, masa ‘iddah-nya adalah empat bulan sepuluh hari. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 234)
b.      Bagi istri yang sedang hamil, masa ‘iddah-nya adalah sampai melahirkan. (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
2.      ‘Iddah karena talak, fasakh, dan khulu’
a.      Bagi istri yang belum campur dengan suami yang baru saja bercerai dengannya, tidak ada masa ‘iddah. (Q.S. Al-Ahzab, 33: 49)
b.      Bagi istri yang sudah campur, masa ‘iddah-nya adalah:
c.       Bagi yang masih mengalami menstruasi, masa ‘iddah-nya ialah tiga kali suci. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 228)
d.      Bagi istri yang tidak mengalami menstruasi, misalnya karena usia tua (menopause), masa ‘iddah-nya adalah 3 bulan. (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
e.       Bagi istri yang sedang mengandung, masa ‘iddah-nya ialah sampai dengan melahirkan kandungannya (Q.S. At-Talaq, 65: 4)
  
8.      Rujuk
Rujuk berarti kembali, yaitu kembalinya suami kepada ikatan nikah dengan istrinya sebagaimana semula, selama istrinya masih dalam masa ‘iddah raj’iyah. Hukum rujuk asalnya mubah, artinya boleh rujuk dan boleh pula tidak. Akan tetapi, hukum rujuk bisa berubah, sebagai berikut:
1.      Sunah, misalnya apabila rujuknya suami kepada istrinya dengan niat karena Allah, untuk memperbaiki sikap dan perilaku serta bertekad untuk menjadikan rumah tangganya sebagai rumah tangga bahagia.
2.      Wajib, misalnya bagi suami mentalak salah seorang istinya, sedangkan sebelum mentalaknya, ia belum menyempurnakan pembagian waktunya.
3.      Makruh (dibenci), apabila meneruskan perceraian lebih bermanfaat dari pada rujuk.
4.      Haram, misalnya jika maksud rujuknya suami adalah untuk menyakiti istri atau untuk mendurhakai Allah SWT.

Rukun rujuk ada 4 macam, yaitu sebagai berikut:
1.      Istri sudah bercampur dengan suami yang mentalaknya dan masih berada pada masa ‘iddah raj’iyah
2.      Keinginan rujuk suami atas kehendak sendiri, bukan karena dipaksa.
3.      Ada dua orang saksi, yaitu dua orang laki-laki yang adil. (Q.S. At-Talaq, 65: 2)
4.      Ada sigat atau ucapan rujuk, misalnya suami berkata kepada istri yang diceraikannya selama masih berada dalam masa ‘iddah raj’iyah, “Saya rujuk kepada engkau!”

9.      HIKMAH PERNIKAHAN           
1.      Memenuhi kebutuhan seksual dengan cara yang diridai Allah (cara yang islami), dan menghindari cara yang dimurkai Allah seperti perzinaan atau homoseks (gay atau lesbian).
2.      Pernikahan merupakan cara yang benar, baik, dan diridai Allah untuk memperoleh anak serta mengembangkan keturunan yang sah.
3.      Melalui pernikahan, suami-istri dapat memupuk rasa tanggung jawab membaginya dalam rangka memelihara, mengasuh dan mendidik anak-anaknya, sehingga memberikan motivasi yang kuat untuk membahagiakan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.
4.      Menjalin hubungan silaturahmi antara keluarga suami dan keluarga istri, sehingga sesama mereka saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan serta tidak tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.
    












PERNIKAHAN MENURUT UNDANG - UNDANG

a.      Tujuan Perkawinan : Tujuannya adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UUP pasal 1).

b.      Sahnya Perkawinan :Tujuannya adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (UUP pasal 2 (1)).

c.       Hak da Kewajiban Suami Istri :
1.      Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai kemampuannya.
2.      Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
3.      Jika suami/istri melakukan kewajiban masing-masing dapa mengajukan gugatan kepada pengadilan (UUP Ps 34).
d.      Ketentuan Pernikahan :
1.      Syarat mempelai pria
a.       Calon suami beragama islam
b.      Terang (jelas)bahwa calon suami itu betul laki-laki
c.       Orangnya diketahui dan tertentu
d.      Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri
e.       Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istrinya halal baginya.
f.       Calon suami rela(tidak dipaksa)untuk melakukan perkawinan itu.
g.      Tidak sedang malakukan ihram
h.      Tidak mempunyai istri yang haram di madu dengan calon istri
i.        Tidak sedang mempunyai istri empat
2.      Syarat mempelai wanita
a.       Beragama Islam
b.      Wanita / perempuan normal (bukan benci/lesbian)
c.       Wanita itu tentu orangnya
d.      Halal bagi calon suami
e.       Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan Tidak dalam masa iddah
f.       Tidak dipaksa
g.      Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah
3.      Wali Nikah
Urutan Wali dalam nikah yaitu:
1.      Bapak.
2.      Saudara kandung Laki-Laki
3.      Saudara Laki-Laki yang sebapak.
4.      Anak Laki-Laki dari saudara kandung laki-laki.
5.      Anak Laki-Laki dari saudara laki-laki sebapak.
6.      Paman kandung.
7.      Paman sebapak.
8.      Anak Laki-Laki dari paman kandung
9.      Anak Laki-Laki Paman Sebapak



4.      Saksi
Syarat-syarat saksi yaitu :
a.       Berakal
b.       Baligh
c.        Merdeka
d.       Islam
e.        Dua Orang
f.        Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
g.        Dapat mendengar, melihat dan bercakap
h.       Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan melakukan dosa-dosa kecil).
5.      Syarat  ijab dan kabul
a.       Lafal Ijab dan kabul tidak boleh mengandung taklik.
b.       Dalam Lafal dan kabul itu tidak boleh mengandung pengertian bahwa perkawinan itu untuk jangka waktu tertentu,karena akad yang sedemikian adalah nikah mut’ah(nikah kontrak) yang di haramkan oleh agama islam.
c.        Harus memakai lafal yang yang di ambil dari kata:”al-nikah” ataw “al-tajwis”,atau terjemahan  dalam bahasa indonesia yaitu orang yang melakukan akad nikah.karena kedua lafal itulah yang tersebut dalam al-quran sebagai kalam ilahi.
d.       Tidak boleh untuk ijab dan kabul itu di pakai lafal kinayah.
e.        Sehabis ucapan ijab dari pihak wali harus segera mendapat jawaban kabul dari pihak suami,tidak boleh berselang dengan ucapan lain.
f.        Sesuai dengan ucapan ijab  dan kabul.
g.        Ijab kabul harus di laksanakan dalam satu majelis.
6.      Rukun Nikah
1.       Calon suami dan Calon Istri yang akan melakukan perkawinan.
2.       Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita,
Akad nikah akan di anggap sah apabila ada seorang wali atau w
akilnya yang akan menikahkannya,berdasarkan sabda nabi SAW:Artinya:”perempuan mana saja yang menikah tanpa seijin walinya,maka pernikahannya batal”.
3.       Adanya ada dua orang saksi
      pelaksaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akad nikah tersebut.
4.       Shigot akad nikah,yaitu ijab kabul yang di ucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita,dan di jawab oleh calon pengantin laki-laki.

e.       Larangan Perkawinan Menurut KHI Pasal 39:
Sah tidaknya suatu pernikahan di atur dalam Undang –Undang, tentunya dengan ketentuan meliputi : syarat dan rukun tertentu. Pernikahan tidak sah (dilarang) apabila :
1.      Pertalian Nasab
a.       Dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya (ibu).
b.      Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu (anaknya ayah atau anaknya ibu).
c.       Dengan saudara wanita yang melahirkan (bibi dari pihak ibu).

2.      Karena Pertalian Kerabat Semenda
a.       Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya (mertua).
b.      Dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya (bekas istri ayah).
c.       Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya (anaknya istri), kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad dukhul.
d.      Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya (bekas istri anaknya).
3.      Karena Pertalian Susuan
a.       Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis ke atas.
b.      Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
c.       Dengan seorang wanita saudara sesusuan dan kemenakan sesusuan ke bawah.
d.      Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas.
e.       Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.
Pasal 40 KHI, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
1.      Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
  1. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
  2. Seorang wanita yang tidak beragama islam.
f.       Putusnya Perkawinan (perceraian)
Pasal 113 KHI, perkawinan dapat putus karena: kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Pasal 116 KHI, perceraian adalah putusnya suatu perkawinan yang sah di depan hakim [engadilan berdasarkan syarat yang ditentukan Undang – undang. Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
1.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
5.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
6.      Antara suami atau istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
7.      Suami melanggar taklik talak.
8.      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga,
Menurut jumlahnya talak dibagi menjadi 3, yaitu:
1.      Talak raj'i yaitu talak ke satu dan kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah. (Pasal 116 KHI).
2.      Talak ba'in surga adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah  baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah (Pasal 119 ayat (1) KHI).
3.      Talak ba'in kubra adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da ad-dukhul dan habis masa iddahnya.
Yang termasuk talak ba'in sugra, yaitu (Pasal 119 ayat (2) KHI):
1.      Talak yang terjadi qabla ad-dukhul.
2.      Talak dengan tebusan (khuluk).
3.      Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
Menurut dilarang atau tidaknya, talak juga dibagi 2 (dua) yaitu:
1.      Talak sunny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. (Pasal 121 KHI).
2.      Talak bid'i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid, atau istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. (Pasal 122 KHI).
g.      Akibat Putusnya Perkawinan
Pasal 149 KHI, bilamana perkawinan putus karena talak maka bekas suami wajib:
1.      Memberikan mut'ah yang layak kepada bekas istrinya baik berupa uang atau benda, kecuali kalau istri tersebut qabla ad-dukhul.
2.      Memberi nafkah maskan dan kiswah kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba'in atau nusyu dan dalam keadaan tidak hamil.
3.      Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh apabila qabla ad-dukhul.
4.      Memberikan biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun/
Berikut ini isi Pasal 153 KHI:
1.      Bila seorang istri yang putus perkawinannya berlalu waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla ad-dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
2.      Waktu tunggu bagi janda ditentukan sebagai berikut: a). Apabila perkawinan putus karena kematian walaupun qabla ad-dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh hari). b). Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari. c). Apabila perkawinan putus karena kematian, sedangkan janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
3.      Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla ad-dukhul.
h.      Dampak Perceraian
1.      Terhadap suami maupun istri, hubungan ikatan oerkawinan menjadi putus
2.      Terhadap anak, adanya hak asuh anak
3.      Terhadap harta benda, harta bersama dibagi rata, terkecuali harta bawaan dan perolehan, selama tidak diatur dalam perjanjian, dan di luar kewajiban nafkah suami untuk mantan istri dan anak.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dialog Cerita Asal Usul Aksara Jawa

ASAL – USUL AKSARA JAWA Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang laki – laki yang berwibawa, sakti nan gagah berani. Ia tinggal di sebuah desa yang gemahripah lohjinawi yaitu Medhang Kawit. Ia mempunyai 2 orang abdi sakti yang sangat setia bersamanya bernama Dora dan Sembada. Panggil saja ia dengan Aji Saka.             Aji Saka mempunyai sorban dan keris. Yang keduanya adalah pusaka yang sangat sakti hingga tidak ada yang bisa menandinginya. Sorbannya bisa melebar seluas samudra, dan kerisnya bisa membelah jagat raya.             Ketika Aji Saka hendak mengembara, ia menitipkan kerisnya kepada Sembada. Kemudian ia berangkat mengembara ditemani oleh Dora. Diperjalanan mereka bertemu dengan pedagang yang sedang dirampok. Ternyata pedagang tersebut akan menjadi santapan seorang raja yang sangat kejam, bernama Dewata Cengkar. Singkat cerita, Dora diperintahkan Aji Sa...

Laporan Percobaan elektrolisis dan penyepuhan KIMIA

PERCOBAAN ELEKTROLISIS 1.       Tujuan : Mengamati peristiwa yang terjadi pada reaksi elektrolisis 2.       Alat dan Bahan 1.       2 Elektroda karbo n 2.       Kabel 1 m 3.       4 Baterai 1,5 volt 4.       Gelas Kimia 5.       Tabung U 6.       Amilum (C 6 H 10 H 5 ) 7.       2 Paku (baru, belum berkarat)                              8.       Larutan KI 9.       Pipet tetes 10.   Larutan fenolftalein 11.   Statif 12.   Corong kaca 13.   Kertas lakmus merah 14.   Solasi 3.       Cara...

Laporan praktikum tempe dan tape

LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI PEMBUATAN TEMPE DAN TAPE Oleh : Altala Rica T. R (4) Dinda Oktaviantri (8) Putri Rahayu (23) Nimas Titissari (36) UPTD SMA NEGERI 3 NGANJUK Tahun Pelajaran 2016/2017 PEMBUATAN TEMPE ALAT DAN BAHAN : 1.       Kedelai 2.       Ragi tempe 3.       Plastic ½ kg 4.       Lilin 5.       Air 6.       Panci 7.       Korek 8.       Baskom PROSES PEMBUATAN : 1.       Sediakan kedele   Kedele dipilah-pilah, buang kedele yang rusak/busuk. 2.       Setelah selesai kedelai kemudian direndam semalam . 3.       Selanjutnya, buang air rendaman dan kedelai dicuci bersih....